Wednesday, July 25, 2007

Lumpur Lapindo

REFLEKSI SETAHUN BENCANA NASIONAL

LUMPUR PANAS LAPINDO

[Dampak dan Solusi]

Oleh : Khoirurrijal, S.Ag, M.A.*

* Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung, Pemerhati Masalah-masalah Pendidikan, Bahasa, Sosial Kemasyarakatan dan Keagamaan.

Bencana Nasional, Luapan lumpur panas yang terjadi di Desa Ronokenongo, Siring, Jatirejo dan Kedungbendo, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, masih terus terjadi. Sudah setahun lebih sejak akhir Mei 2006 lalu hingga kini, semburan itu belum tertangani dengan tuntas.

Ada kesan ketidakberdayaan pemerintah dalam penanganan bencana ini, terlebih yang berkaitan dengan masa depan para korban yang sampai saat ini berada dalam pengungsian darurat, sebagian kalangan menganggap presiden telah melakukan kekeliruan struktural dalam penanganan bencana alam, akibat keputusannya dalam mempertahankan perpres no. 83 tahun 2005, peraturan ini disinyalir tidak bisa menanggulangi bencana secara efektif, padahal keberlarutan bencana dan musibah memiliki dampak yang serius bagi lingkungan hidup, sosial masyarakat, maupun sosial ekonomi para korban.

Dampak Yang Timbul

Sekurang-kurangnya ada empat hal dampak yang timbul dari bencana lumpur Lapindo ini. Pertama: Selain merusak lingkungan hidup, lumpur panas tersebut juga sangat membahayakan kesehatan warga setempat, yaitu bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lumpur itu mengandung bahan karsinogenik yang jika menumpuk di dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit kanker; bisa juga menurunkan tingkat perkembangan kecerdasan otak, khususnya anak-anak. (Falery Mustika,12/09/2006)

Kedua: jalannya pendidikan terhambat, karena beberapa bangunan infrastruktur sekolah yang rusak berat.

Ketiga: transportasi, di samping telah menenggelamkan rumah-rumah penduduk, bangunan infrastruktur sekolah, pabrik, kantor, dll, luapan lumpur juga mengganggu lalu lintas darat daerah tersebut.

Keempat: sosial masyarakat, di samping kerugian sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia, ternyata warga desa yang tertimpa bencana juga harus rela kehilangan pekerjaan. Ini menjadi pelengkap penderitaan para korban yang sampai sekarang masih hidup dalam pengungsian.

Menurut Greenomics (11/08/2006), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup, kerugian akibat semburan lumpur itu diperkirakan menembus Rp 33,27 triliun. Angka itu mencakup kerugian yang harus ditanggung untuk memulihkan lagi (restorasi) 180 hektar lebih lahan yang tergenang lumpur, penanganan sosial, ekologi sampai dampak terhambatnya potensi pertumbuhan ekonomi dan bisnis warga dan dunia usaha yang menjadi korban luapan lumpur panas. Perhitungan yang dibuat Greenomics sendiri hanya mencakup kerugian jangka pendek. Artinya, nilai kerugian ini masih mungkin lebih besar lagi jika terjadi perluasan dampak turunan luapan lumpur dalam jangka menengah dan panjang.

Solusi Agama [Islam]

Apabila dicermati, ada tiga hal penting yang perlu ditemukan solusinya berkenaan dengan banjir lumpur Lapindo ini. Pertama: berkaitan dengan solusi jangka pendek, Islam telah menetapkan bahwa wajib hukumnya menyelesaikan suatu bencana sesegera mungkin. Karena banjir lumpur ini bukan bencana alam biasa, seperti gempa, gunung meletus, dan sejenisnya, maka pihak yang menjadi penyebab utama bencana tersebut harus bertanggung jawab. Faktanya, pihak yang 'berkonstribusi' terhadap bencana ini adalah PT Lapindo serta pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, PT Lapindolah yang telah melakukan pengeborannya, sedangkan Pemerintah memberikan izinnya. (Eramuslim.com, 01/09/06).

Dengan demikian, secara praktis Pemerintah harus ikut bertanggung jawab menanggulangi bencana ini. Dengan keterlibatan Pemerintah secara langsung, segala sesuatu yang berkaitan dengan korban bencana ini dapat dipantau setiap waktu. Pemerintah bisa menugaskan TNI yang secara fisik memiliki kemampuan untuk menghadapi medan bencana. Pemerintah juga bisa mengumpulkan para ahli geologi, lingkungan, dan kesehatan untuk sesegera mungkin mengatasi musibah ini. Semua ini merupakan bentuk tanggung jawab Pemerintah dalam mengurus dan mengayomi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: Al-Imâmu râ’in wa huwa mas’ûlun ‘an raiyyatihi (Imam/penguasa adalah pengurus rakyat; ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya). (HR Muslim).

Adapun pihak PT Lapindo harus dikontrol oleh Pemerintah untuk menanggung segala biaya dalam penanggulangan bencana ini serta memberikan ganti rugi yang sesuai terhadap para korban. Perusahaan yang menjadi induk PT Lapindo, yaitu PT Energi Mega Persada Tbk (EMP) yang berafiliasi dengan Group Bakri, juga sepenuhnya ikut bertanggung jawab terhadap masalah ini.

Kedua: berkaitan dengan solusi jangka menengah atau jangka panjang, hendaknya Pemerintah melakukan perombakan secara fundamental terhadap sektor ekonomi Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Semua bentuk privatisasi/swastanisasi pengelolaan sumberdaya alam milik masyarakat harus dihapuskan. Sebab, melalui privatisasi/swastanisasi, kekayaan milik umum/rakyat berpindah menjadi milik individu/swasta. Pada saat yang sama, lewat privatisasi/swastanisasi, Pemerintah justru melepaskan peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi, khususnya menyangkut sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Betapa banyak Pemerintah memberikan izin berbagai pengelolaan kekayaan alam milik masyarakat kepada pihak swasta, bahkan swasta asing. Selain PT Lapindo, perusahaan multinasional seperti Exxon Mobil, Caltex, Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dll sudah sejak lama menjarah seluruh kekayaan migas Indonesia. Belum lagi izin Pemerintah yang telah diberikan kepada pihak swasta/asing yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam yang lainnya, seperti pengelolaan tambang emas di bumi Papua yang diserahkan kepada perusahaan Amerika PT Preefort, yang juga telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat parah di Papua. Apalagi terbukti pemerintah telah memberikan 812 izin eksplorasi kepada pihak asing, meliputi 75% wilayah Indonesia. Dari data tersebut 10% diantaranya sudah beroperasi. (Jaknews.com)

Syariah Islam telah menjelaskan bahwa seluruh kekayaan yang oleh Allah dan Rasul-Nya dinyatakan untuk masyarakat banyak terkategori sebagai barang milik umum. Kekayaan tersebut berupa: (1) Fasilitas umum, seperti jalan raya, padang rumput, dll; (2) Barang tambang yang jumlahnya cukup besar seperti migas, emas, perak, dll; (3) Sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara perorangan (Lihat: Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm). Islam melarang individu/sekelompok orang/swasta untuk menguasai ketiga jenis kekayaan milik masyarakat tersebut.

Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Abbas: Al-Muslimûna Syurakâ’un Fî Tsalâtsin : Fî al-mâ’i wa al-kal-i wa an-Nâri (Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu: air, padang rumput/hutan, dan api/energi). (HR Ahmad).

Kepemilikan umum ini harus dikelola hanya oleh negara, yang hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Karena itu, pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) yang terjadi selama ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management), dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

Ketiga: tidak ada istilah santai dalam penanganan bencana Lumpur, kerja keras menjadi keharusan, apa pun dalihnya keteledoran dalam penanganannya adalah salah satu bentuk pelecehan terhadap bangsa. Sebuah bangsa yang sedang dilanda multi bencana dan membutuhkan keseriusan dalam penanganannya.

Penutup

Pemerintah walaupun telah memutuskan bencana Lumpur Lapindo sebagai bencana nasional, namun bukan berarti pengalokasian dana bantuan untuk para korban akan dapat mencukupi dengan keputusan tersebut. Sekitar 25 ribu korban membutuhkan tiga hal yang harus segera dipenuhi. Pertama: pekerjaan, lapangan pekerjaan harus disiapkan oleh pemerintah daerah maupun pusat, tidak kurang dari 30 pabrik dengan 1.873 tenaga kerja terhenti aktivitasnya akibat bencana ini, alternatif lain pemerintah mengadakan program transmigrasi khusus korban bencana lumpur ke daerah lain. Kedua: kesehatan, sangat naif jika upaya perbaikan kondisi masyarakat korban bencana tanpa dibarengi dengan pelayanan kesehatan yang memadai, sebagai gambaran efek buruk yang terjadi adalah mewabahnya berbagai penyakit yang diakibatkan bencana, maka otomatis pembasmian wabah tersebut harus diprioritaskan. Ketiga: bantuan dana untuk para korban, dana ini tidak harus berupa uang tunai, akan tetapi bisa berupa modal usaha dalam bentuk barang atau pinjaman lunak.

Setidaknya laporan media yang meliput buruknya kondisi hidup para pengungsi bencana Lumpur, menjadi bukti kuat akan perlunya perhatian ekstra pemerintah terhadap pengelolaan bencana. Walaupun di satu sisi group Bakri sebagai induk perusahaan yang bertanggung jawab telah menyanggupi untuk mengalokasikan dana sebesar 7 triliun sebagai konpensasi masyarakat yang terkena bencana, dan perusahaan Multi indah menyetujui untuk menyumbang 5 miliar sebagai usaha pemulihan kondisi lingkungan, namun hal ini tidak akan banyak manfaatnya jika tidak dibarengi dengan langkah nyata pengembalian kelayakan hidup korban sekaligus pengadaan lapangan kerja bagi mereka yang telah kehilangan pekerjaan.

Kesengsaraan hidup yang dialami masyarakat saat ini sesungguhnya merupakan dampak dari ideologi dan sistem Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini sekaligus merupakan akibat ditinggalkannya ideologi dan sistem aturan yang diberikan Allah SWT. Karena itu, sudah saatnya kita mengubur ideologi dan sistem Kapitalisme itu dari kancah kehidupan kita, dan membangun sistem ekonomi syari’ah yang sesuai dengan aturan Allah SWT.

No comments: